Rabu, 04 Mei 2016

HOW DOES IT FEEL TO BE AN ALIEN ? (Part 3) - BUDAYA SAVING

Saving di sini bisa diartikan menabung, menyimpan... menyimpan makanan, menyimpan uang, menyimpan wanita, menyimpan pria... Hahaha! Kidding! Ya, kali ini saya akan share tentang budaya simpan menyimpan di sini.

Salah satu hal berharga yang saya pelajari sejak saya di sini, salah satunya adalah budaya saving. Saking sukanya sama budaya menyimpan, kadang kesannya mereka pelit. Okay, let me stop you there. Apa yang Anda pikirkan tentang budaya pelit menyimpan ini, perlu diluruskan. Kalopun Anda tetap bersikukuh menganggap seperti itu ya silakan, tapi saya cuma pengen sedikit menambah sudut pandang.

Lagi-lagi saya belajar dan terinspirasi bahas budaya ini juga dari makanan. Saya memang susah move on dari makanan. -_- Anyway!
Awal - awal saya di sini, saya dibuat kagum dengan budaya LEFT OVER. Yang di maksud dengan left over di sini adalah makanan sisa. Jadi seperti yang sudah saya share sebelumnya. Orang di sini suka banget sama makanan. Hampir di tiap acara, bahkan peringatan kerabat yang meninggal pun, biasanya pasti ada makan-makan. Nah, berhubung mereka suka merayakan segala sesuatu dengan makanan, pasti makanan yang disiapin juga banyak dan biasanya nggak habis. Sisa makanan yang disimpan, itulah left over. Satu pencerahan lagi? You are welcome! :)

Dalam kehidupan keluarga atau individu juga sering ada sisa makanan, yang biasanya dimakan keesokan harinya. Biasanya mereka yang sibuk kerja, masak makan malem dan sisanya disimpen buat dibawa makan siang di hari selanjutnya. Nah, awal-awal saya sempet nggak terlalu setuju sama cara ini. Saya sempet bertanya-tanya dalam hati juga (Yaayyy, saya masih punya hati! Salah fokus :')), iya, saya mikir kenapa sih suka masak banyak dan dilebihin? Mereka pasti tau dong porsi yang bisa dihabiskan, tapi kenapa mereka suka banget bikin left over? Awalnya, menurut saya, selain kitanya berpotensi bosen dan akhirnya buang makanan, saya berpikir tubuh juga lebih bagus diisi sama makanan yang bervariasi, kan? Tapi setelah kontemplasi selama beberapa purnama (Lebay!), ternyata kebiasaan ini beralasan dan bisa dibilang briliant! Mereka bikin left over, bisa jadi alternatif ketika besoknya males masak. Malesnya bukan karena males - pemalas. FYI, di sini kebanyakan orang sibuk. Ibu rumah tangga sekalipun biasanya wanita karir. Jadi ketika kebesokannya capek pulang kerja, nggak perlu masak kalo masih punya sisa makanan kemarin. Atau misal lagi buru-buru harus pergi kemana lagi, kalo ada left over bisa langsung makan tinggal diangetin. Kedua, masak dengan porsi besar ini juga bisa hemat listrik buat oven, kompor, dll. Kalo sekali masak langsung banyak, berarti hari selanjutnya bisa nggak perlu alokasiin listrik ke oven dan kompor lagi kan? Hemat listrik, hemat tenaga. Okesip, cerdas! Poin selanjutnya, dengan adanya left over, hal ini juga sangat membantu mengendalikan budaya jajan di luar! Serius, saya sudah membuktikan sis! (Korban olshop) :D Sejak di sini, saya lebih bisa mengendalikan kebiasaan beli makanan di luar. Artinya saya menyelamatkan isi dompet dan isi perut. Ketika kita menyiapkan makanan kita sendiri, otomatis kita bener-bener tau apa yang masuk ke perut. Does it make any sense? Jadi uangnya bisa ditabung dan saya juga lebih sehat, termasuk mengurangi uang yang mungkin berpotensi dialokasikan ke rumah sakit atau beli obat, karena nggak gampang sakit lagi. Yomaaann! Nah, udah berapa keuntungan yang didapat dengan adanya left over? Tapi namanya juga hidup, segala sesuatu pasti ada sisi baik dan buruknya. Sisi buruk dari kebiasaan sisa makanan ini jelas juga buat kesehatan. Buat orang sini, makanan sisa yang mau dimakan lagi jelas dipanasin lagi. Sayangnya mereka masih suka make wadah plastik yang mereka pake ngepak makanan ini buat langsung dipanasin di microwave. Awalnya saya berusaha menghalalkan cara ini, tapi hati tidak bisa dibohongi (Yaelah sis!), lama-lama saya merasa bersalah pada tubuh saya. Walopun box makanan itu udah punya label microwaveable, saya sendiri kalo emang terpaksa pas capek, nggak pengen masak atau emang masak dalam porsi banyak, secapek apapun saya tetep mindahin makanan dari box itu ke piring atau mangkok kaca. Pokoknya katakan tidak pada benda plastik untuk microwave! (Siapa tau abis ini jadi duta microwave atau duta plastik untuk microwave :p)
Intinya, ujung dari kebiasaan menyimpan makanan sisa ini jelas menghemat segala sesuatu. Walopun personally saya nggak terlalu ngefans sama left over. Selain lebih suka sensasi makan makanan fresh, saya juga punya kepercayaan untuk menyerap nutrisi yang bervariasi (sok sehat!) :p

Seru ya, bahas left over.
Masih dengan topik yang sama, budaya saving, lanjut ke bahan selanjutnya! Masukkan setengah sendok teh baking powder ke dalam adonan tepung yang sudah dicampur dengan mentega dan... ngaco! Oke serius ! Jadi kebiasaan menyimpan ini juga sempet jadi pro kontra dalam otak saya sendiri. Sebagai orang Indonesia yang datang dari negeri yang berlimpah dengan nilai sopan santun yang dijunjung tinggi (saking santunnya kadang lupa buat jujur, eh?), saya sempet ngerasa awkward waktu pertama tau tentang bagaimana nasib makanan sisa di restaurant atau pokoknya sisa makanan kalau kita lagi makan di luar. Ternyata budaya saving ini masih berlanjut. Seriously? YAP! Di sini, pada umumnya - kalo nggak ngedate - mungkin, orang bakal ngebawa pulang makanan yang nggak dihabisin. Restoran sendiri biasanya udah nyediain box khusus dan orang udah biasa kalo bilang "Could i please get the box?" - si pramusaji pasti udah langsung paham maksud kita orang mau ngebungkus sisa makanan kita. Tapi bukan berarti juga kita pesen spaghetti trus tinggal seutas pasta dan kita minta itu dibungkus bawa pulang. Itu sih bukan saving lagi namanya tapi kikir. Naudzubillah. Sebenernya nggak ada masalah sih kalo tega minta box cuma buat ngebungkus satu senar spaghetti, orang sini menghormati keputusan orang lain dan nggak nyinyir kok :) (Halo Indonesia, apa kabarnya?) Tapi sejauh ini di lingkungan pergaulan saya, belum ada yang nyobain ngebungkus seutas spaghetti. Anyway, hal ini sangat menarik dan bikin saya salut. Orang di sini nggak ada yang hidupnya kurang. Dari segi ilmu sosial, stratifikasi masyarakat secara ekonomi nggak dipisahkan dengan gap yang super lebar kayak di Indonesia (misalnya, kalo kaya ya kaya banget, sampe punya pabrik rokok emas, tapi kalo yang kurang ya kurang banget, sampe keluarganya sakit aja tetep diusir dari rumah sakit karena nggak dipercaya mampu bayar). Tapi di sini nggak ada orang kaya, atau yang hidupnya cukup dan SOK. Nggak ada yang jaim. Kalo pas makan bareng dan emang suka sama makanannya ya dihabisin sampe piringnya bersih. Kalo misal udah keburu kenyang dan emang suka, yaudah bawa pulang. Saya bukannya mau ngebanding-bandingin mana yang baik mana yang buruk. Tapi jujur, saya belajar banyak dari fenomena bawa pulang makanan ini. Tapi herannya, di Indonesia orang justru kesannya berlomba-lomba nyisain makanan di piring. Semakin banyak sisanya semakin terlihat keren karena mengindikasikan orang tersebut nggak laper, berkelas, dan elegan. Setelah saya pikir-pikir lagi, apa gunanya nyisain makanan cuma buat nyenengin pandangan orang? Padahal sebenernya mungkin suka atau laper? Akibatnya jelas juga buang-buang makanan. Kalau mau bahas tentang ini, berkaitan dengan adat sopan santun dan budaya timur, saya pikir budaya timur cuma ngajarin makan sewajarnya, bukan ngajarin buang-buang makanan :) Lebih tepatnya budaya Timur ngajarin buat ngambil makanan dengan sopan artinya ya sesuai porsi. Selanjutnya apa yang di piring kita, ya itu udah hak dan tanggung jawab kita. Kita berhak dan bertanggung jawab ngabisin apa yang ada di piring kita. Sopan bukan berarti sok-sok nyisain makanan cuma biar keliatan beradab. Itu beda :) No offense, buddies. Ngomong-ngomong tentang sopan, ketika kita lagi makan bareng dan seringnya buffet, di sini orang dianggap sopan ketika sebaiknya kita habisin dulu apa yang kita ambil di piring kita, baru ambil lagi yang lain. Sebenernya juga nggak apa-apa sih kalo belum habis langsung ngambil yang lain, nggak akan ada yang nyinyir juga. It's not a big deal. Tapi ya common etiquette nya sih gitu. Nggak ada salahnya juga kan tetap menjunjung kesopanan di lingkungan bebas. :p

Oke, lanjut ke bagian akhir dari rumpik soal saving. Jadi kebiasaan yang kesannya "nggak mau rugi" atau "pelit" atau apalah orang bilang, padahal maksud sebenernya adalah nggak mau menyia-nyiakan sesuatu, ini juga berdampak ke satu kebiasaan umum yang unik. Saya sempet agak canggung dan mikir  mereka, orang-orang di sini, hilarious! Jadi salah satu kebiasaan makan-makan bareng ini juga nggak jauh-jauh dari tata cara potluck. (Penasaran apa itu potluck? Akan dibahas lebih jauh di sharing selanjutnya!) Jadi intinya ketika kita bikin acara, tamu-tamu kita ini.. nggak harus dan nggak wajib juga, tapi seyogyanya, disarankan, atau apapun itu, untuk bawa makanan dari rumah masing-masing. Trus nanti dikumpulin dan dimakan bareng sama yang lain. Nah, berkaitan dengan topik kebiasaan menyimpan, setelah potluck dan ada makanan sisa, biasanya si pembawa makanan yang bersangkutan ini bakal ngangkut makanan yang mereka bawa sendiri (potluck leftover). Sebagai orang Indonesia saya pernah mengernyitkan dahi sekaligus geleng kepala (pasti sekarang lagi mraktekin kan? Gotchaaa! :p) Pasalnya, di Indonesia misal kita bertamu dan bawa makanan, kalaupun sisa, kita pasti nggak akan berani bawa pulang lagi kan? Hahaha! Soalnya pasti Anda takut dibilang pelit dan nggak ikhlas bawa makanannya. Nggak salah juga sih, soalnya memang orang-orang kita juga "terbiasa" menggunjing dan "menghakimi" perilaku orang lain. Dan kemungkinan Anda digunjing memang besar. Sorry to be honest! :) Lain cerita di sini, Anda sangat dianjurkan membawa kembali makanan yang Anda bawa kalau memang ada sisa dan Anda pengen bawa pulang lagi. Semua orang akan memahami dan memaklumi, karena memang mereka juga akan melakukan hal yang sama. Bagi mereka, hal itu lebih baik daripada ngebuang makanan. Kecuali memang ada rencana, sisa makanan potluck ini mau dibagikan ke mereka yang membutuhkan. Beda lagi ceritanya. Selain itu, misal Anda minat bawa pulang makanan yang dibawa temen, Anda tinggal bilang aja, nggak ada yang salah dengan berlaku jujur dan bilang "Eh, makanan kamu enak, aku mau dong bawa pulang sisanya." Selagi si empunya makanan ini mengijinkan Anda, nggak ada yang salah dengan hal ini. Mereka justru senang karena Anda mengapresiasi mereka dan Anda jujur. Whoaaaa, keren ya?

Nggak heran kalo di sini, di kehidupan masyarakat dan keluarga, semua sangat tegas dan sadar tentang pemisahan sampah. Sejauh ini saya juga bersyukur punya kesempatan untuk belajar menjadi terbiasa otomatis memisahkan mana sampah organik (sisa makanan dan sejenis compostable stuff), sampah yang bisa direcycle dan sampah semacam plastik yang tidak termasuk golongan kompos atau daur ulang. Semua demi kebaikan bersama untuk menyelamatkan lingkungan. Mungkin memang kebiasaan kecil, tapi dampaknya luar biasa.

Well, that's it. Cerita tentang kebiasaan simpan menyimpan memang unik. Memang untuk beberapa poin, akan kurang relevan diterapkan di kalangan orang Indonesia. Dan bukan berarti budaya di sini lebih baik atau budaya di Indonesia tidak baik. Semua pasti ada kelebihan dan kekurangan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan apresiasi pada budaya bangsa sendiri, saya cuma ingin berbagi cerita. Seburuk-buruknya sesuatu yang Anda rasa tidak pas untuk diterapkan, pasti tetap ada sesuatu yang bisa dipelajari. Saya cuma mau beropini, negara maju yang orang-orangnya juga maju dan berkecukupan aja suka saving, nggak suka menyia-nyiakan sesuatu dan mereka selalu berusaha gimana menyelamatkan sesuatu yang berpotensi untuk dimanfaatkan lagi. Jadi untuk kita yang masih proses untuk menjadi maju, nggak ada salahnya belajar dari mereka. Bukan berarti budaya saving ini harus dibenturkan dengan budaya sopan, semua bisa diterapkan tanpa mengorbankan kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah ada. Tinggal bagaimana kita bisa menambah hal-hal baik yang sudah kita miliki sebagai orang Indonesia, dengan hal-hal baik yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. :)