WE LOVE FOOD!!!
Di sini kita memang bisa bebas makan buah dan sayur karena orang sini
suka banget sama salad. Jadi saya akui saya punya pola makan lebih sehat
daripada waktu di Indonesia. Sebenarnya juga tergantung sih ya. Dan
lagi, semua pasti ada sisi hitam putihnya. Di sini orang suka salad,
yang kalau kata orang Indonesia mungkin makanan kambing. Di sini orang
nggak terlalu suka bumbu. Mungkin ini salah satu bentuk mereka sangat
menjunjung tinggi kemanusiaan dan nilai individu, mereka nggak masak
dengan gaya "You eat what it's served". Nggak kayak di Indonesia
yang kita selalu harus makan sesuai selera yang masak. Di sini, kita
makan dengan takaran bumbu masing-masing. Pada dasarnya mereka masak
sesuatu yang plain alias nggak terlalu banyak bumbu macem-macem,
mengingat dan menimbang ukuran pedes, manis, dan asin buat orang pasti
beda-beda. Jadi masakan yang udah dibikin bisa kita "masak" ulang di
piring kita sendiri. Kita kasih bumbu sesuai selera hati masing-masing.
Walaupun bagi mereka yang "sangat Indonesia" mungkin nggak setuju dan
bilang ini nggak ada nilai kebersamaannya, tapi personally saya lebih suka cara ini. Toh pada akhirnya kita makan di meja yang sama!
Mereka suka banget sama yang namanya dessert. Secara pribadi, saya senang sekaligus sedih. Saya suka banget makan makanan sejenis ini dan sering nggak terima kalo beberapa orang nyebutnya junk! :( Tapi bener juga sih, sedikit lah. Dessert ini merujuk pada hidangan penutup manis, bisa jadi juga es krim. Berhubung es krim adalah salah satu hal favorit dalam hidup, maka saya menikmati budaya dessert ini. Walaupun berakhir dengan naiknya jarum timbangan. Tapi saya berterima kasih juga sama budaya dessert, karena sudah membuat saya termotivasi banyak dan akhirnya jatuh cinta sama baking! I love baking!
Selain suka dessert, mereka suka makanan frozen. Kalo yang ini adalah sisi gelap makanan di sini. Sebagai orang yang datang dari negeri yang sayur aja bisa metik di kebun sendiri, saya sangat menyayangkan hal yang satu ini. Tapi kalo ditelusuri lebih jauh. Ada alasan kenapa mereka pilih makanan frozen. Di sini banyak keluarga besar, mereka makan dengan porsi besar. Kalo beli produk frozen, bisa disimpen lagi dan tentunya lebih hemat. Dilihat dari sisi praktisnya juga lebih praktis, mereka nggak perlu bolak balik belanja ke supermarket cuma karena sayur yang dibeli 2 hari lalu udah busuk di dapur. Cukup disimpen di kulkas. Tapi tetep aja saya nggak suka dan berusaha menghindari produk-produk frozen. Lucunya, ada pengalaman nyimpen strawberry di flat bareng temen-temen. FRESH STRAWBERRY! Menurut saya ini lebih enak dan sehat, tapi berakhir pada konsekuensi saya harus ngabisin sendiri sebelum buah imut itu membusuk. Nggak ada temen yang mau nyentuh. Tapi begitu nyimpen frozen strawberry, banyak yang berbondong-bondong bantuin makan. Nggak kaget sih, cuma ironis. :D
Soal rasa, jangan diadu lah. Sejujurnya, saya lebih suka makan semangka, melon, mangga dan buah-buah tropis lainnya, yang ditanam di Indonesia. Nah, kalo yang ini Indonesia boleh sangat bangga. Buah-buah kita jauh lebih enak dan rasanya nendang. Sementara di sini, orang udah bisa puas makan buah itu tanpa tau seenak apa buah-buah yang kita punya. Mereka udah cukup puas makan semangka, mangga, dan melon yang menurut saya... nggak ada rasanya. No offense. Tapi serius, rasa buah-buah yang kita punya itu ibarat orang, karakternya kuat. Kalo buah di sini rasanya kayak rasa ke mantan yang telah pudar gitu deh :( Hahaha. Penyebabnya adalah karena buah-buah yang nggak tumbuh di iklim dingin, didapat dari impor. Jadi nggak bisa disalahkan juga. Ketika buah impor rasa aslinya mungkin udah berceceran di jalan dan menguap begitu saja. Mereka diimpor dari negara asal waktu buahnya masih muda belia, sebagai antisipasi nggak membusuk dalam perjalanan ke negeri ini. Jadi walaupun udah mateng, tetep rasanya nggak mateng-mateng amat. Tapi anyway saya udah mulai terbiasa sama rasa mereka.
Bicara soal rasa, mungkin cita rasa mereka emang semacam buah-buah itu. Kurang nendang. Tapi saya juga suka bagian dari budaya rasa ini. Kalo mereka suka masak tanpa terlalu banyak bumbu, mereka juga nggak terlalu suka rasa-rasa buatan yang mengurangi kealamian suatu makanan atau minuman. Sejak di sini, saya nggak pernah minum teh pake gula. Bahkan banyak dari mereka suka minum kopi tanpa gula juga. Kalo yang ini saya nggak bisa. Kenapa? Ya, karena memang bukan preferensi aja minum kopi tanpa apa-apa. Terlalu pahit! Saya nggak mau menambah pahitnya hidup dengan kopi tanpa apa-apa! :p Sempet bayangin kalo di Indonesia kita suguhin tamu kopi atau teh tanpa gula, bisa-bisa kita disangka pelit atau amnesia, lupa kasih gula. Saya suka karena selain hemat nggak perlu gula di minuman (Hahaha!), ini juga lebih sehat. Sementara untuk hal masak-memasak, karena mereka nggak suka pedes, ini juga hal yang saya suka disini. Mereka suka makanan yang nggak neko-neko bumbunya kecuali mereka pecinta masakan India yang bumbunya selalu seantero jagad dan aromanya bisa nginep di dapur selama sebulan dan bisa kecium sampe radius ratusan kilometer. (Hiperbola!) Tapi mereka suka banget sama wine, beer, dan minuman beralkohol. Walaupun nggak semuanya, tapi sudah hal yang wajar kalo masak apa-apa ditambahin wine atau beer. Nah, kalo yang ini saya nggak suka, tapi kalo nggak tau ya tetep masuk perut juga. Hahaha!
Selanjutnya tentang durasi memasak. Mereka punya standar ganda yang nggak bisa saya serap, sebagai orang Indonesia. Mereka suka makan daging dengan metode "half done". Mereka suka barbeque, steak, dan olahan daging panggang yang nggak mateng-mateng amat. Berhubung kadang mereka makan daging merah, jadi daging mentahnya masih keliatan banget. Dan cara masak inilah yang buat orang seperti saya bisa langsung kehilangan selera makan. Rasanya kalo liat daging merah setengah atau bahkan sepertiga mateng, langsung ngebayangin mereka mungkin bakal tega ngegigit langsung para sapi yang berkeliaran di peternakan. Ewh! :( Tentu saja preferensi tingkat kematangan makanan yang saya suka ini sempet bikin hidup mereka lebih rumit. Kalo lagi barbeque-an, temen-temen tahu saya maunya dibikinin daging yang mateng banget, yang bikin mereka bilang "Are you going to eat the ashes of that beef?" atau "It's more than a burnt meat!"
Kesimpulannya, negara kita memerlukan satu pemimpin yang benar-benar berintegritas. Karena semakin banyak justru orang yang menjatuhkan pemimpin yang semacam itu. (Ini apasih?) Hahaha. Anyway, I love the foods here, we love foods and friends! Because food is our friend and friend is our food! (Loh?! Ngaco! Hahaha) Makan adalah salah satu hal menyenangkan yang bisa jadi media kita ngumpul. Jadi mereka suka banget makan-makan. Bahkan di acara memorial service. Bukan berati kita nggak sedih dan justru pesta ketika ada yang meninggal. Tapi itu sebagai cara kita merayakan dan menghormati orang yang meninggal itu. Jadi jangan salah paham sama kebiasaan makan-makan walaupun ada kerabat yang meninggal. Karena mereka berpikir makanan bisa menyatukan mereka yang biasanya jauh dan nggak pernah ketemu. Itu esensi. Di setiap momen, makanan adalah bentuk rasa syukur mereka, media mempersatukan banyak mulut dan otak di satu meja, dan sebagai cara mereka menikmati kebersamaan. :)
Senin, 30 November 2015
Rabu, 18 November 2015
HOW DOES IT FEEL TO BE AN ALIEN? (1)
Datang dan belajar di negeri orang memang salah satu hal yang nikmat untuk dimiliki dalam hidup. Bisa bayangin gimana rasanya jadi sebatang korek di habitat yang baru? Serem? Iya. But it's way way more fun than you think and you deserve! :p Serius. Banyak hal yang bisa kita pelajari di lingkungan baru. Apalagi awal-awal dateng, pasti semangat-semangatnya menyerap segala sesuatu yang baru. Sampe kadang nggak punya filter, maunya semua-semua diserap.
Saya adalah salah satu gadis desa yang beruntung dan diberkati. Dari kota kecil namanya Brajacaka saya mulai menghirup nafas dunia fana, sempat menikmati indahnya alam pulau Sumatra sapai kemudian dibawa ke neraka yang menjelma sebagai satu pulau super sibuk dan padet di Indonesia barat. Namanya pulau Jawa. Seandainya waktu umur 5 tahun udah punya sense yang bagus tentang pulau-pulau di Indonesia, mungkin saya udah protes nggak mau dibawa keluar pindah ke pulau Jawa. Meskipun masih bolak balik ke Lampung, overall saya besar di pulau Jawa. Kota kecil itu namanya Tayu. Saya menapak hidup di sana sampai Sekolah Menengah Pertama. Setelah beberapa tahun mengecap kehidupan di kota kecil itu, saya dikirim sekolah selanjutnya ke kota kabupaten. Nggak besar-besar amat sih, cuma lebih besar dari Tayu. Mulailah saya hidup jauh dari orang tua. Saya bahagia dan cepet adaptasi walaupun sering sakit dan sekarat juga. Tapi dari pengalaman jauh dari orang tua untuk pertama kalinya itu saya sadar akan panggilan hidup saya. Saya mungkin tertakdir hidup jauh kelak. Waktu itu saya belum tahu rancangan Tuhan selanjutnya. Sampai akhirnya semakin yakinlah saya pada anggapan bahwa saya akan semakin jauh dan jauh. Saya diterima kuliah di Kota Malang. Kota indah yang sejuk walaupun sekarang udah mulai rese, panas, dan padet. Kota inilah yang menempa saya menjadi lebih dewasa dan semakin memahami hakiki menjadi gadis mandiri karena jauh dari orang tua. Di kota itu juga saya mulai merasakan peluang untuk pergi lebih jauh. Mulai dari sering ke ibukota Indonesia karena berbagai urusan. Dan akhirnya di sinilah saya, benua yang ditemuin Amerigo Vespucci! Siapa sangka, ya? :')
Sekarang saya sedang menikmati hidup di negeri pelopor olahraga Hockey. Negeri indah yang ngefans banget sama kata "Eh!" Rasanya bersyukur banget punya kesempatan belajar di sini. Suka dukanya hampir didominasi sama sukanya. Sejujurnya dukanya cuma karena kangen tempe sama keluarga, kangen kelapa muda yang langsung metik dari pohon, dan buah-buah yang rasanya enak. Sejujurnya juga, dari segi makanan, saya cuma kangen beberapa makanan Indonesia aja. Nggak sampe yang sakit karena nggak doyan makan atau perubahan jenis makanan yang drastis. Saya bersyukur saya bukan orang yang ngefans sama nasi, yang ngerasa depresi ketika nggak makan nasi, atau yang ngerasa hidupnya nggak berarti ketika nggak makan Indomie. Bukannya sok sih, tapi ya namanya juga orang kan preferensinya beda-beda. Jadi no offense ya. Saya cuma gila karena nggak nemu tempe.... yang seenak di Indonesia. FYI, tempe di sini mahal dan soal rasa, jangan ditanya... jauuuuhhhhh lebih nggak enak dari di Indonesia :'(
Selanjutnya akan dibagikan beberapa cerita lebih detail mengenai banyak hal selama menjadi alien di sini! Stay tune! :p
Saya adalah salah satu gadis desa yang beruntung dan diberkati. Dari kota kecil namanya Brajacaka saya mulai menghirup nafas dunia fana, sempat menikmati indahnya alam pulau Sumatra sapai kemudian dibawa ke neraka yang menjelma sebagai satu pulau super sibuk dan padet di Indonesia barat. Namanya pulau Jawa. Seandainya waktu umur 5 tahun udah punya sense yang bagus tentang pulau-pulau di Indonesia, mungkin saya udah protes nggak mau dibawa keluar pindah ke pulau Jawa. Meskipun masih bolak balik ke Lampung, overall saya besar di pulau Jawa. Kota kecil itu namanya Tayu. Saya menapak hidup di sana sampai Sekolah Menengah Pertama. Setelah beberapa tahun mengecap kehidupan di kota kecil itu, saya dikirim sekolah selanjutnya ke kota kabupaten. Nggak besar-besar amat sih, cuma lebih besar dari Tayu. Mulailah saya hidup jauh dari orang tua. Saya bahagia dan cepet adaptasi walaupun sering sakit dan sekarat juga. Tapi dari pengalaman jauh dari orang tua untuk pertama kalinya itu saya sadar akan panggilan hidup saya. Saya mungkin tertakdir hidup jauh kelak. Waktu itu saya belum tahu rancangan Tuhan selanjutnya. Sampai akhirnya semakin yakinlah saya pada anggapan bahwa saya akan semakin jauh dan jauh. Saya diterima kuliah di Kota Malang. Kota indah yang sejuk walaupun sekarang udah mulai rese, panas, dan padet. Kota inilah yang menempa saya menjadi lebih dewasa dan semakin memahami hakiki menjadi gadis mandiri karena jauh dari orang tua. Di kota itu juga saya mulai merasakan peluang untuk pergi lebih jauh. Mulai dari sering ke ibukota Indonesia karena berbagai urusan. Dan akhirnya di sinilah saya, benua yang ditemuin Amerigo Vespucci! Siapa sangka, ya? :')
Sekarang saya sedang menikmati hidup di negeri pelopor olahraga Hockey. Negeri indah yang ngefans banget sama kata "Eh!" Rasanya bersyukur banget punya kesempatan belajar di sini. Suka dukanya hampir didominasi sama sukanya. Sejujurnya dukanya cuma karena kangen tempe sama keluarga, kangen kelapa muda yang langsung metik dari pohon, dan buah-buah yang rasanya enak. Sejujurnya juga, dari segi makanan, saya cuma kangen beberapa makanan Indonesia aja. Nggak sampe yang sakit karena nggak doyan makan atau perubahan jenis makanan yang drastis. Saya bersyukur saya bukan orang yang ngefans sama nasi, yang ngerasa depresi ketika nggak makan nasi, atau yang ngerasa hidupnya nggak berarti ketika nggak makan Indomie. Bukannya sok sih, tapi ya namanya juga orang kan preferensinya beda-beda. Jadi no offense ya. Saya cuma gila karena nggak nemu tempe.... yang seenak di Indonesia. FYI, tempe di sini mahal dan soal rasa, jangan ditanya... jauuuuhhhhh lebih nggak enak dari di Indonesia :'(
Selanjutnya akan dibagikan beberapa cerita lebih detail mengenai banyak hal selama menjadi alien di sini! Stay tune! :p
Kamis, 12 November 2015
HELLO... from the other side!
Voila!!! Akhirnya nulis di sini lagi. Karena cinta akan selalu pulang. Mau pergi sejauh apapun ke ujung dunia yang fana ini, ujungnya ngerasa butuh banget pulang ke sini. Entah kenapa... Mungkin karena yang namanya move on memang nggak pernah mudah! (#Curcol// #HighlightedLifequotes// #PengalamanPribadi// #KisahNyata// #MoveOn// #Berisik// #KebanyakanHashtag// #Annoying// #KZL// #IniMauNegblogApaMauHashtagExhibition// #IyaGituDeh// #AlayDikitGapapaDong// #TrusKenapaMasihDiterusin// TERUS KENAPA MASIH DITERUSIN?...
Karena masih sayang. Iya, itu kenapa masih diterusin. Sebentar? Ini dimana sih? Yaaayyyy!! Ini sekarang di belahan dunia lain!! Hello from the other side kalo kata Adelle. Oke, main tebak2an dulu yuk? Balikan, balikan apa yang ga pernah ngebosenin? Jawabannya, balikan nyampah lagi sama mantan... blog. Ya nggak mantan sih, namanya juga udah balikan. Hehe. Oke semakin nggak keruan kayaknya ya. Anggep aja yang nulis ini masih jetlag setelah terkatung-katung di bangku pesawat selama hampir 24 jam (jam bumi). Well, I've been here for almost 3 months. Dan sejujurnya entah kenapa belum kangen-kangen banget sama Indonesia. Tapi kangen sama beberapa orang dan makanan aja. Overall, kehidupan di sini membuat saya merasa lebih hidup, meskipun kadang sekarat juga. Sekarat karena kangen, sekarat pengen makan tempe, sekarat karena udara dinginnya ugal-ugalan. Jadi berikut kronologi secuil sejarah hidup yang terukir tahun ini.
Sebelum 17 Agustus 2015:
Sering nangis. Kadang karena sakit. Kadang juga karena berantem sama kesayangan. Ada kalanya nangis karena nyesek mau pergi jauh. Kadang juga nangis aja buat terapi ngebersihin mata dan hidung.
17 Agustus 2015:
Nangis di bandara. Bukan karena laper, tapi karena mau pisah sama orang-orang kesayangan sampai waktu mempertemukan kembali. I left to chase my dreams!
17 Agustus 2015 kalender Indonesia tapi udah pake waktu Jerman:
Nangis karena kesasar di Frankfurt Airport. Akibat dapet panggilan khusus di bagian Imigrasi yang nyinyirin soal tujuan terbang ke Kanada tapi mampir ke AS dulu dan belum punya tiket terbang ke Kanada. Ya suka-suka saya kali, Tante. Ya tapi wajar sih, mereka hanya ingin memastikan saya tidak menggembel di AS dan beneran bisa terbang ke Kanada sesuai rencana.
18 Agustus 2015 kalender Indonesia / 17 Agustus 2015 kalender Amerika Serikat:
Nangis. Terharu sampe di Negeri Paman Sam dengan selamat dan tanpa kurang suatu apapun, termasuk rindu yang nggak berkurang juga - malah makin besar karena sadar udah jauh sama orang-orang kesayangan. Jauh banget. Kalo pengen pulang nggak bisa seenaknya pulang. Mahal, dek!
17 Agustus 2015 - 27 Agustus 2015 kalender AS:
Nangis kalo lagi kangen. Maklum masih newbie jadi pendatang di daratan yang ribuan mil jauhnya dari rumah. Ketawa dan happy kalo lagi makan dan jalan-jalan atau sekedar ngumpul bareng temen dan kenalan baru.
27 Agustus 2015:
Nangis karena liburannya udah selesai dan musti angkat kaki untuk terbang ke tempat baru yang masih menjadi misteri. Padahal kan udah kenal dan dapet temen :( (Lesson: kehidupan selalu mengajarkan untuk bergerak. Itulah kenapa kita selalu pergi untuk beradaptasi dan pada akhirnya harus pergi lagi ketika sudah nyaman beradaptasi. That's life,buddy!)
28 Agustus 2015:
Pagi pertama di Kanada. Pengen nangis sebenernya karena belum dapet jaringan WIFI buat kontak dan ngabarin yang di Indonesia. Tapi Puji Tuhan akhirnya settle di tempat tinggal yang nyaman (tapi tetep aja berencana pindah akhir-akhir ini. HAHAHA).
28 Agustus 2015 - tulisan ini ditulis:
Ya nangis, ya ketawa, ya nyesek, ya galau, ya gila, ya ayan, ya sedih, ya banyak lah pokoknya. Namanya juga manusia dan idup. Tapi kenapa di kronologi di atas kebanyakan nangis? Bukan cuma karena yang nulis ini emang cengeng, tapi sebenernya buat memudahkan anak cucu untuk mengingat sejarah ini kelak. Simple kan kejadiannya, kebanyakan nangis doang. :|
Sejauh ini masih berusaha beradaptasi sama semua hal baru. Banyak belajar hal baru. Dan tenang, ini cuma prakata sebelum nanti akan disharingkan (ini bahasa apaan sih?) untuk berbagai pengalaman dengan lebih mendetail dan digali setajam mulut haters dan sedalam freeport! Pokoknya banyak hal random yang sepertinya memang penting untuk dibagikan. Sekalian menunjukkan tanda-tanda kehidupan di sini. I'M ALIVE, FOLKS!!
Dear, my beloved superdad, mom, sissy, enemy, besties... Hello and i miss you all from this other side of your world! :)
Rabu, 25 Juni 2014
(ORANG PERTAMA+ORANG KEDUA) : ORANG KETIGA = #? (ERROR 404 NOT FOUND)
“Jangan
menyalahkan orang ketiga dalam sebuah hubungan. Karena ‘tamu’ nggak akan masuk
kalo ‘tuan rumah’ tidak membukakan pintu.”
Kira-kira
gitu deh buah pemikiran seorang temen dalam sebuah jejaring sosialnya. Dan yang
kemudian menggelitik otak adalah… ya emang. Hahaha. Ada juga temen lain yang
kemudian komen
“Kalo
tamunya yang maksa masuk ngedobrak pintu, gimana?”
Pertanyaan
bagus. Tapi menurutku tetep ada penyebabnya lah ya. Kalo sampe pintu bisa
didobrak, itu artinya kualitas pintu seharusnya ditingkatkan. Bisa sih kalo mau
didebat lagi, seandainya…
“tapi kalo
tamunya bawa tank atau bumble bee buat ngedobrak gimana?”
trus bakal
dijawab lagi…
“Ya si tuan
rumah minta bantuin Man of Steel buat
bikin formula pintu yang kuat dong.”
“……”
(Silakan dilanjutkan sendiri, kalo mau. Hehehe)
Nah, di
sini kita nggak akan bahas tentang kualitas pintu macam apa yang bakal
diciptakan Man of Steel, atau tank kuat yang diekspor negara mana yang
bisa ngedobrak apa aja (Bahkan ngedobrak hati yang sudah lama digembok. Eaaak) Helas, sejujurnya aku belum punya
pengalaman kerja di toko bangunan atau weapon
factory. Jadi marilah kita bahas soal orang ketiganya aja. Kalo yang ini banyak
yang udah punya pengalaman, kayaknya. Ini kasus yang semakin menjamur
dimana-mana, sehingga perhatian para orang pertama dan kedua seharusnya
disinergikan dengan isu yang semakin berkembang. (Ini apalagi, sih? Tuluuung!)
Jadi
intinya gini kali ya, sebuah hubungan yang diintervensi orang ketiga itu
biasanya (kalo nggak mau dikatakan ‘selalu’) ada sebabnya. Entah ada yang
membukakan pintu, atau bahkan mengundang, dan bisa jadi juga orang ketiga nya
ini yang emang semangat banget buat ‘bertamu’. Relasinya sama pintu adalah,
menurutku, pintu dalam sebuah hubungan itu ya strategi kedua pihak yang
berwajib untuk menjaga hubungan mereka. Pintu tiap bangunan bisa jadi beda. Begitu
juga strategi dalam hubungan masing-masing. Long
Distance Relationship sama hubungan pacar lima langkah dari rumah belum
tentu bisa disamakan. Ibarat ngobatin penyakit, semua harus sesuai penyakitnya,
kan? Begitu pula dengan strategi dalam mempertahankan dan membentengi sebuah
hubungan. Semua kembali pada pihak yang bersangkutan. Dimana keduanya bisa
nyaman menjalankan misi pertahanan, ya lanjut. Kalo cuma salah satu aja yang
ngejalanin strategi pertahanan, ibarat orang jalan, maka hubungan itu udah
pincang.
Nah,
masalahnya, kalo sampe ada penyusup bisa masuk, berarti strategi yang mereka
punyai mulai bisa dipertanyakan kredibilitasnya. Ketika dua pihak udah
memutuskan untuk menjalin sebuah relationship,
menurutku, bisa dikatakan bahwa apa yang mereka alami adalah tanggung jawab
berdua.
Kondisi lain
adalah, mungkin emang penyusupnya yang terlalu ambisius masuk, entah alasan
sabotase atau yang lain, yang pasti penyusup itu bisa digagalkan kalo strategi
dua pihak utama diperkuat. Kadang nggak ada celah aja penyusup bisa tetep otak
atik, apalagi kalau dibikinin jalan, kan? Jadi ya, kalo sampe ada intervensi
dalam sebuah hubungan, sampe kemudian salah satu keluar dari koridor pintu
utama, bisa dipastikan bahwa nggak mungkin nggak ada alasannya.
Di sini,
aku nggak membenarkan kalo seseorang yang tergoda oleh orang ketiga itu sah sah
aja, atau jadi orang ketiga yang berhasil merebut salah satu dari dua orang
yang berhubungan itu halal. NO. Ya, pelajarannya adalah, sama-sama koreksi aja.
Yang jadi orang pertama dan kedua, ya mohon kesadarannya untuk tetap berada
pada payung strategi yang sudah dibuat. Memang memilih untuk meninggalkan
seseorang itu pasti ada alasannya. Entah kamu udah merasa nggak cocok atau
merasa ada yang lebih baik. Tapi itu nggak bisa jadi justifikasi yang valid
untuk kemudian mengijinkan orang ketiga mengintervensi hubungan yang
sebelumnya.
Begitu juga
dengan yang ditinggalkan, mungkin emang perlu koreksi diri, tapi nggak usah
berlebihan sampe nyalahin diri sendiri dan susah move on. Jadikan itu pelajaran buat bab relasi selanjutnya. Well, mempertahankan sesuatu yang tidak
ingin dipertahankan itu bukan pilihan yang bijak. Kalo kata Demi Lovato sih, let it go. Lagian Tuhan nggak akan
mengijinkan kehilangan tanpa sebab. Kalo kamu berkeras dia yang terbaik tapi
dia harus pergi, percayalah itu artinya Tuhan sedang menyiapkan yang jauhhh
lebih baik lagi J
Yang
terakhir, buat orang ketiga… Well,
spesies kalian emang ada. Dan aku nggak bermaksud untuk sinis. Apalagi kalian
pasti lebih cerdas dalam mencari atau menciptakan alasan intervensi. “Dia
sahabatku dari orok, aku nggak rela kalo dia pacaran sama cewek macem D, E, F
atau G. Jadi ya… bla bla bla.”
Niat baik
kalo eksekusinya pake jalan nggak baik itu sangat disayangkan. Apalagi kalo
ujung-ujungnya kamu ngerebut punya orang lain, atau bahkan berniat nikung punya
orang lain. Percayalah, kamu bisa melakukan hal yang jauuuh lebih baik dan
terpuji dari itu J
P.s. Tulisan ini dengan penuh kasih sayang dipersembahkan untuk adek kos yang hobi ngebully. Bahkan behind the scene tulisan ini dia bilang "Ngapain nulis tentang orang ketiga, mbak Zi, orang keduanya aja nggak punya" Luv you lah :3
![]() |
((((salah satu cookie favorit)))) Kita semua juga tau, cookie patah sama yang utuh itu beda :) |
Senin, 16 Juni 2014
KERAN AIR DAN KEBERUNTUNGAN
Mandi
memang kegiatan paling inspiratif (buatku). Dari dulu aku percaya kalo kamar
mandi itu gudangnya inspirasi. Aku bisa dapet banyak wangsit dan kontemplasi di
sana. Singkat cerita, di kosku yang sekarang, aku punya satu kamar mandi
langganan dan bisa dibilang favorit sejak pertama aku jadi orang asing di kos ini, karena
ukurannya yang luas dan bersih—karena jarang yang make (Wait, btw, aku nggak yakin sama frase “singkat cerita”). Mereka nggak
benar-benar ada menurutku :D
Pokoknya aku
suka banget mandi di kamar mandi pojokan di lantai 2 ini. Bahkan walopun lagi
buru-buru, aku sering konyol nungguin dan (terpaksa) antri kalo memang lagi
dipake sama anak kos yang (terpaksa) harus mandi di situ. Tapi hal ini memang
nggak sering. Pasalnya, kamar mandi ini jarang yang mau pake. Aku sempet heran
karena menurutku dibanding kamar mandi yang lain, ini tetep kamar mandi paling
luas dan bersih, tapi juga nggak ambil pusing soal itu karena aku udah cukup sering
pusing sama skripsi (Eaaaak).
Mungkin alasan kamar mandi ini jarang dipake adalah pernah munculnya gossip warisan, gossip itu pun berkembang jadi cerita misteri. Walopun aku memang sempet kemakan gossip, tapi ketakutanku cuma bertahan beberapa hari aja. Aku tetap memfavoritkan kamar mandi ini. Emang ya, kalo udah saling percaya itu mau dipisah pake mulut orang ketiga keempat kelima keenam pun, nggak akan mempan dan pada akhirnya balik juga karena cinta selalu tahu kemana ia harus pulang (Ini apabanget sih? Hahaha).
Sayangnya,
pagi ini keran kamar mandi mati. Dan penyebabnya adalah kamar mandi utama
yang letaknya di belakang, lagi dipake. Pada beberapa kondisi, kalo keran di
dua kamar mandi utama dinyalain, kamar mandi favoritku ini bisa mati keran. (Jadi
mikir juga, bisa jadi seseorang itu single karena jatahnya ditilap orang lain.
Hahahhaa—abaikan!). Nah, karena aku nggak bisa mandi tanpa keran nyala,
akhirnya aku berniat untuk antri make kamar mandi utama. Tapi hati tetep aja
pengen mandi di kamar mandi favorit sebenernya (Emang kalo nurani nggak pernah
bisa bohong ya. Karena pada akhirnya mendustai perasaan sendiri itu akan
menyakitkan. Hahaha). Setelah bete karena kelamaan nunggu si pemake kamar mandi
utama, aku nekad aja mandi di kamar mandi favorit.
Heran bercampur senang karena beruntung di tengah-tengah mandi, keran yang tadinya nggak keluar air (tapi tetep aku buka), tiba-tiba mencucurkan air. Wah!!
Dari situ
aku berpikir kalo untuk memulai sesuatu, aku (manusia) sering banyakan mikir dan
kuatir. Padahal semua yang kita butuhkan, hakikinya pasti akan terpenuhi sambil
jalan dan di waktu yang tepat. Dan nggak jarang, pemenuhan itu kayak keajaiban
yang melengkapi aksi keberanian (atau kenekadan) kita. Faktanya, kita nggak
akan pernah tahu kalo kita nggak berinisiatif untuk maju dan gerak dulu. Sering
banget dalam setiap mimpi dan niat manusia diawali dengan frase “kalo aku udah
bisa…. aku bakal….” atau “kalo aku udah punya….. aku bakal…..”
Padahal siapa yang bisa sangka kalo apa yang kita butuhkan dalam “perjalanan” akan kita peroleh seiring keberanian yang kita punya untuk mulai “berjalan”. Nggak akan ada yang tahu memang, apakah keran air itu bakalan 100% terjamin nyala. Tapi seandainya nggak nyala pun, aku tetep bisa mandi karena perhitungaku airnya bakalan cukup. Nah, ini juga yang bedain aksiku sama kenekadan yang mindless. Nah, something to keep in mind adalah, beranilah mencoba. Be brave! Berani jalan dulu dan apa yang kita butuhkan akan menyusul dengan ajaibnya, seiring aksi nyata dari keberanian kita. Btw, aku juga bersyukur pernah diajarkan tentang iman juga. Dan menurutku, kejadian keran pagi ini juga ngingetin aku tentang keberanian mengambil langkah adalah salah satu bukti iman dengan perbuatan. Karena iman tanpa perbuatan pada dasarnya adalah mati. Dan iman itu sendiri adalah mempercayai sesuatu walopun nggak keliatan. You keep believin even when you see nothing. Wow! Nah, karena keberuntungan juga adalah faktor X yang mempengaruhi outcome dari sebuah peristiwa, dalam hal ini aku juga mau bilang bahwa fortune favors the brave. Kalo Whitney Houston sama Mariah Carrey bilang sih, There can be miracles when you believe, though hope is frail, it’s hard to kill. Who knows what miracle you can achieve. When you believe somehow you will. You will when you believe.
![]() |
Be brave, be faithful, and be lucky! |
Selasa, 28 Januari 2014
M I K A - "Love is Faith"
Aku bukan movie holic. Nggak usah sampe movie holic deh, bahkan dari dulu aku
ngerasa kalo aku punya selera nonton film yang jelek. Bahkan mungkin nggak ada sense nya sama sekali. Aku berasa nggak
segaul temen-temen yang selalu update
film, yang selalu semangat tiap ada film baru yang baru rilis, yang hafal
jadwal premiere, dan rajin nyambangin
bioskop. Sebagai cewek bahkan aku nggak pernah nganggep jalan ke bioskop itu romantis.
Apa yang disebut romantis sama nonton bareng orang sebanyak itu, dan jelas
konsentrasi ke film, bukan ke sama siapa kita jalan. Seumur hidup yang sampe
detik ini, percaya atau nggak aku cuma pernah nonton di bioskop sebanyak nggak
lebih dari jumlah jari tangan manusia. Itu pun karena diajak temen, killing the time, dan sisanya desperate nggak tahu musti ngapain. Jangan
tanya soal pengetahuan trilogi film A, atau hexalogi film Z, karena jelas aku
nggak bakal bisa tahu.
Aku sendiri
kurang paham sama selera film yang aku suka. Aku nggak pernah excited buat nonton film manapun. Tapi jangan
heran kalo sekalinya aku suka sama film, aku bakal nonton film itu sampe bisa
ngehafal dialog dalam film. Sejauh ini aku punya film yang selalu aku puter
berulang-ulang, yaitu Letters to
Juliet dan When in Rome. Keduanya
aku ambil pas lagi main di warnet, iseng sama temen yang movie holic. Dan dua film itu pun aku pilih karena judul dan sebut
saja feeling (sok peka). Aku ngerasa ada chemistry sama judulnya dari pertama baca. Dan
bener, berawal dari feeling ajaib,
aku suka banget setting tempat di kedua film itu. Sama-sama Italy sih. Haha yaelah :D
Nah, aku
juga punya temen yang saking gilanya sama film, dia berusaha menularkan
pahamnya itu ke aku. Dia update dan
selalu aja punya cara buat ngedapet soft file film yang (bahkan) lima hari lalu baru aja
keluar di bioskop. Dia juga punya sense
yang baik buat paham sama jalan cerita zombie-zombie an dan kehidupan robot
di planet lain. Dia punya networking yang
luas sama nama pemain-pemain film yang kece. Ohya, aku ngejudge kece bukan
karena beneran suka atau udah nonton. Tapi karena keknya heboh banget trailernya dan posternya
bagus atau diomongin banyak temen-temen lain. Entahlah… mungkin Tuhan tidak
menciptakan aku dengan ketertarikan yang semacam itu. Tapi bukannya sombong,
aku seringkali bisa nebak jalan cerita film yang aku tonton. Sampe si temen ini
pasti kesel dan bilang “Sumpah Mbak Zi belum nonton? Kok tahu?” atau “Wes, Mbak Zi. Wes. Sampeyan nulis cerita aja sana lho daripada nonton yang udah
tahu.” Hahahha
Beruntung
aku bertemen sama dia yang berguna di saat-saat aku nggak punya ide kegiatan
atau pas lagi kelewat nganggur. Gunanya adalah, dia selalu berbaik hati
merekomendasikan film dan dengan semangat dicopyin
ke laptop. Padahal nggak jarang juga film-film itu membeku kedinginan gegara
nggak pernah dijamah. Dan male mini rasanya aneh banget. Aku lagi bosen sama
kegiatan yang itu-itu aja. Maka aku putuskan buat nyambangin folder Movies dan berencana nonton Letters to Juliet atau When in Rome. Di tengah jalan mendadak
rencana berubah ketika aku ngeliat ada beberapa judul file film yang mendadak bikin pengen nonton gegara judulnya. “Mika”. Aku pikir “Keknya bagus nih. Jangan-jangan
ceritanya soal malaikat (Mikael).” Hahaha. Dan aku agak zonk pas liat file covernya. Ternyata itu film Indonesia. Nggak
perlu dibayangin betapa aku pengen ngomelin temenku yang lagi pulang kampung
buat liburan dan bilang “What theeeeee…. Kamu ngasih aku film Indonesia????” Oke,
selain berasa nggak punya nasionalisme (dalam hal film), tapi jujur aja, aku ngerasa banyak film
Indo yang.. ya mungkin aku yang kurang nangkep atau gimana, yang jelas moral valuenya (mungkin) kececeran
dimana-mana dan susah dicarinya. Tapi meskipun aku merutuk dalem ati, aku tetep
iseng aja mulai ngebuka itu file film. Lagian diliat-liat file poster filmnya
simpel dan nggak alay sih. Tapi awalnya nonton asal-asalan, sambil makan,
chatting, dll, dll. Tapi begitu agak ke tengah, aku mulai tertarik dan justru
ngulang percakapan di beberapa scene.
Film yang judulnya Mika ini ternyata nggak se-freak yang aku pikir. Dan yang lebih hell adalah film ini berhasil bikin aku hujan yang cukup serius. Dan
sampe filmnya udah kelar hujannya semakin menjadi. Aku bener-bener sotoy
ngelanjutin feelingnya si tokoh cewek
yang ada di film itu. Nggak ngebayangin gimana rasanya ditinggal sama orang
yang udah berjasa dan baik gitu. Just
like ‘REALLY?’ What the hell I was doin? Hahaha. Serius aku nangis. Dan aku
akuin kalo film ini adalah film Indonesia yang dibikin dengan jalan cerita yang
simpel tapi nggak norak (Kayak biasanya). Malah aku ngerasa film ini berguna
karena nambah pengetahuan buat yang nonton. Dan harusnya spesies film semacem
ini diperbanyak. Bukan melulu film cinta-cintaan yang rebutan pacar, geng-geng
an tapi nol pengetahuan. Film Mika ini nyeritain kehidupan penderita Aids dan Scoliosis
yang saling cinta tapi literally sad ending. Unsur cinta-cintaannya nggak
over. Tapi tetep so touchin! Worth it lah
pokoknya. Recommended enough. Hehehe. Yang pasti film ini sederhana
tapi “bercerita”. Makasih deh buat yang nyempilin film ini di antara
folder-folder film tak terjamah lainnya. Aku juga jadi belajar jangan terlalu suudzon sama sesuatu sebagai hasil dari
generalisasi J Ohya,
aku juga suka jargon tentang cinta yang ada di film Mika. Kebetulan sore
sebelum aku nonton, aku sempet iseng nulis soal LDR dan nyinggung “faith” dalam
LDR itu sendiri. Malemnya, aku ditunjukkin sama film ini kalo emang “Love is faith”. Surprising cool, huh? J
![]() |
Nih, posternya. Selamat meramban dan menonton :D |
Dear, LongDistanceRelationship's!
Dear,
Pejuang LDR
Taraaaaa…
Udah berapa
kali aku nulis soal LDR ya di tempat ini? :D
Whatev lah ya. Yang pasti aku ngerasa kalo
aku udah pernah nulis bahkan sebelum LDR diangkat jadi trending topic di Gramedia, sampe detik ini—meskipun beberapa buku bertemakan LDR masih dipajang
tapi nggak sehappening dulu. Hehe
Hmmm, entah karena nasib atau apa. LDR itu bisa dikatakan sebagai
penyakit bawaan mungkin. Semacam kecenderungan yang kalo sekalinya udah pernah
kena LDR, maka kecenderungan selanjutnya juga LDR lagi (Teorisasi ngawurisme)
Nah, kenapa tiba-tiba saya mengangkat kembali isu ini? Urgensinya adalah karena
tiba-tiba ngerasa bahwa para pejuang LDR itu merupakan kaum-kaum kece dan patut
disupport. (Nomor rekeningku bisa
ditanyain lewat Twitter ya :D *winking*)
Berawal dari chatting nggak
dinyana pada suatu malam. Ketika itu hujan turun rintik-rintik… *oke, skipped
Singkat cerita aku baru aja re-install Skype. Buat yang belum kenal
siapa itu Skype, silakan cek di dompet masing2 :D Sebelumnya emang udah pernah
sih bergaul akrab sama Skype. Tapi seiring berjalannya waktu. Skype pun
terbengkalai karena… ah, sudahlah hahhaa (Please
be patient for what random I am! :*)
Di Skype ini tiba-tiba ada juga yang nge-add. Aku pikir awalnya temen. Tapi karena ngerasa samar, langsung
aja nanya. Setelah ngobrol kesana kemari, tenyata memang kita belum pernah
kenal sebelumnya. Sebenernya ini bagian yang asik dari dunia maya ya, kita bisa
ngobrol sama orang yang nggak kita kenal dan kalo aku sih seringnya justru
ngerasa bebas nyeritain ini itu :D
Di sela-sela obrolan kita, tiba-tiba dia nyeletuk “Eh btw, kamu make
Skype kenapa? LDRan yak?”
Hahaha. Jelas aja berasa ketusuk bazooka. Setelah ngejawab “Nggak.” ternyata
si mas-mas ini malah nyerocosin soal anehnya orang yang suka LDR. Intinya dia skeptis
banget sama daya juang yang ada pada peserta LDR. Dia beranggapan bahwa LDR itu
pasti susah dijalanin, susah suksesnya, dan justru bisa bikin dosa selingkuh
makin merebak di muka bumi. No offense sih.
Bisa dibilang iya emang. Dan debat kita makin seru ketika aku bilang “LDR itu
lebih banyak seninya daripada pacaran biasa.”, kemudian masih dengan pesimisme-nya
dia ngejawab, “Hahaha, tapi yang namanya pacaran dan LDR mah tetep, sama aja
bohong. Kayak nggak punya pacar.”
Well, biar aku luruskan dan biar pejuang
LDR yang baca tetep semangat ya. LDR susah dijalaninnya, emang sih, itu nggak
salah. Kalo ada yang bilang LDR susah suksesnya, yaa… bisa jadi, tapi bukan
berarti nggak mungkin, kan? J Nah, aku sendiri kemudian sedikit mikir.
Kenapa kok orang mau LDR padahal jelas-jelas itu nggak gampang. Sering banget
sama lingkungan sekitar, pejuang LDR ini dianggap sebagai kaum Utopis, tanpa diperhitungkan
betapa hebatnya perjuangan mereka. Tetep setia, nahan kangen, lebih dewasa,
lebih ngerti, dalam segala situasi di antara bentangan jarak dan waktu. Berdasarkan
studi lapangan, aku berani berpendapat kalo orang yang kebiasa LDR itu
(kebanyakan) kadar setia dan dewasanya pasti lebih besar. (Batasan kajian
subjek adalah mereka yang serius LDR ya, bukan yang LDR karena pengen punya
usaha sampingan dari pacar aslinya atau sekedar main-main, atau yang lagi
pengen ngedrama aja karena LDR cukup ngetrend saat ini).
Seninya ya di situ. Apalagi kalo LDR yang sampe beda benua dan terpaut 6
jam (Uhukk, tiba-tiba berasa nelen batako satu ton). Nggak semua orang bisa
paham sama perjuangan para pejuang LDR. Nah, di sini aku sekedar nyaranin buat
para peserta LDR, tetaplah semangat menjadi kaum yang strong dan kece! Buat yang punya temen atau sahabat yang lagi LDR,
mengertilah mereka dengan baik. Mungkin karena saking sayangnya ke temen atau
sahabatmu, kamu sendiri yang nggak tahan ngeliat dia berjuang dalam jarak. Tapi
ingatlah bahwa rasa sayang ke temen atau sahabatmu itu nggak perlu kamu
tunjukkin dengan kalimat, “Emang kamu nggak capek kah LDR gitu? Kenapa sih
nggak nyari yang deket-deket aja?”, karena apa? Tanpa kamu tanya dengan kalimat
tersebut, make sense kalo mereka
ngerasa capek, seenggaknya pernah lah pasti ngerasain itu. Karena bertahan
dalam jarak itu emang nggak gampang :”)
Nah, dukungan yang baik itu mungkin bisa kamu aplikasikan dengan
sumbangan pulsa buat temen atau sahabatmu untuk berkomunikasi dengan dia yang
jauh disana, hihihi ;p
Intinya, para pejuang LDR lebih dari sekedar patut diacungi jempol
jerapah. Orang mungkin nggak tahu segimana nyeseknya pas lagi kangeeeen super
berat dan cuma bisa say hello lewat
kamera. Nggak semua makhluk juga ngerti betapa ngenesnya kamu saat kamu ngarep
doi ada di banyak momen hidupmu tapi
kamu cuma bisa denger suaranya doang. Belum lagi kalo pas ada salah paham, trus
sinyal jeleknya nggak mendukung penjelasan yang mau dikasih, parahnya lagi beda
negara atau benua atau planet yang otomatis nggak bisa ketemuan gitu aja, dan
akhirnya salah pahamnya nginep sampe berhari-hari. Tapi buat mereka yang punya
kepercayaan lebih atas hubungannya, pasti mau bertahan. Dan yang pasti, jangan
pernah remehkan kesetiaan dan kesabaran pejuang LDR karena sesungguhnya mereka
adalah orang-orang beriman yang tetap percaya sekalipun tidak melihat :D
Sementara yang LDR, jangan pernah mikir buat main api dengan alasan, “Aku
kan juga nggak tahu dia ngapain di sana. Nggak ngejamin juga di sana dia alim.”
atau “Toh dia juga nggak tahu. Lagian mau gimana lagi?”
Tetotttt besar buat dua kalimat itu. Karena kalo kamu bersedia LDR itu
artinya kamu harus juga siap dan realistis ngadepin segala resikonya. Jangan jadikan
jarak sebagai alasan buat berbuat curang. Ingatlah bahwa apa yang kamu tabur pada
akhirnya adalah apa yang (ingin) kamu tuai. Toh kalo kamu nggak yakin dia
setia, percaya aja karma itu ada. Yang penting giving your best on your side! :*
Karena kepercayaan itu pillar penting buat suatu hubungan. Kalo kata
orang sih kepercayaan itu ibarat sinyal buat HP. Apa yang orang lakukan kalo
HPnya nggak ada sinyal? Playing games is the
one of the most make sense alternatives. Dan suatu hubungan itu nggak
seharusnya dimainin, terlalu mahal kalo kamu mau ngegame dalam sebuah hubungan J (Kalo paragraf terakhir ini keknya
bukan pesen buat yang lagi LDR aja sih, tapi buat semuanya)
Cheers, LDR’ Warriors! Good luck and God bless :D
![]() |
Ini khusus dibuat buat para pejuang LDR ya. Keep on fire and faith! :)) |
Langganan:
Postingan (Atom)