Selasa, 28 Januari 2014

M I K A - "Love is Faith"

Aku bukan movie holic. Nggak usah sampe movie holic deh, bahkan dari dulu aku ngerasa kalo aku punya selera nonton film yang jelek. Bahkan mungkin nggak ada sense nya sama sekali. Aku berasa nggak segaul temen-temen yang selalu update film, yang selalu semangat tiap ada film baru yang baru rilis, yang hafal jadwal premiere, dan rajin nyambangin bioskop. Sebagai cewek bahkan aku nggak pernah nganggep jalan ke bioskop itu romantis. Apa yang disebut romantis sama nonton bareng orang sebanyak itu, dan jelas konsentrasi ke film, bukan ke sama siapa kita jalan. Seumur hidup yang sampe detik ini, percaya atau nggak aku cuma pernah nonton di bioskop sebanyak nggak lebih dari jumlah jari tangan manusia. Itu pun karena diajak temen, killing the time, dan sisanya desperate nggak tahu musti ngapain. Jangan tanya soal pengetahuan trilogi film A, atau hexalogi film Z, karena jelas aku nggak bakal bisa tahu.
Aku sendiri kurang paham sama selera film yang aku suka. Aku nggak pernah excited buat nonton film manapun. Tapi jangan heran kalo sekalinya aku suka sama film, aku bakal nonton film itu sampe bisa ngehafal dialog dalam film. Sejauh ini aku punya film yang selalu aku puter berulang-ulang, yaitu Letters to Juliet dan When in Rome. Keduanya aku ambil pas lagi main di warnet, iseng sama temen yang movie holic. Dan dua film itu pun aku pilih karena judul dan sebut saja feeling (sok peka). Aku ngerasa ada chemistry sama judulnya dari pertama baca. Dan bener, berawal dari feeling ajaib, aku suka banget setting tempat di kedua film itu. Sama-sama Italy sih. Haha yaelah :D
Nah, aku juga punya temen yang saking gilanya sama film, dia berusaha menularkan pahamnya itu ke aku. Dia update dan selalu aja punya cara buat ngedapet soft file film yang (bahkan) lima hari lalu baru aja keluar di bioskop. Dia juga punya sense yang baik buat paham sama jalan cerita zombie-zombie an dan kehidupan robot di planet lain. Dia punya networking yang luas sama nama pemain-pemain film yang kece. Ohya, aku ngejudge kece bukan karena beneran suka atau udah nonton. Tapi karena keknya heboh banget trailernya dan posternya bagus atau diomongin banyak temen-temen lain. Entahlah… mungkin Tuhan tidak menciptakan aku dengan ketertarikan yang semacam itu. Tapi bukannya sombong, aku seringkali bisa nebak jalan cerita film yang aku tonton. Sampe si temen ini pasti kesel dan bilang “Sumpah Mbak Zi belum nonton? Kok tahu?” atau “Wes, Mbak Zi. Wes. Sampeyan nulis cerita aja sana lho daripada nonton yang udah tahu.” Hahahha

Beruntung aku bertemen sama dia yang berguna di saat-saat aku nggak punya ide kegiatan atau pas lagi kelewat nganggur. Gunanya adalah, dia selalu berbaik hati merekomendasikan film dan dengan semangat dicopyin ke laptop. Padahal nggak jarang juga film-film itu membeku kedinginan gegara nggak pernah dijamah. Dan male mini rasanya aneh banget. Aku lagi bosen sama kegiatan yang itu-itu aja. Maka aku putuskan buat nyambangin folder Movies dan berencana nonton Letters to Juliet atau When in Rome. Di tengah jalan mendadak rencana berubah ketika aku ngeliat ada beberapa judul file film yang mendadak bikin pengen nonton gegara judulnya. “Mika”. Aku pikir “Keknya bagus nih. Jangan-jangan ceritanya soal malaikat (Mikael).” Hahaha. Dan aku agak zonk pas liat file covernya. Ternyata itu film Indonesia. Nggak perlu dibayangin betapa aku pengen ngomelin temenku yang lagi pulang kampung buat liburan dan bilang “What theeeeee…. Kamu ngasih aku film Indonesia????” Oke, selain berasa nggak punya nasionalisme (dalam hal film), tapi jujur aja, aku ngerasa banyak film Indo yang.. ya mungkin aku yang kurang nangkep atau gimana, yang jelas moral valuenya (mungkin) kececeran dimana-mana dan susah dicarinya. Tapi meskipun aku merutuk dalem ati, aku tetep iseng aja mulai ngebuka itu file film. Lagian diliat-liat file poster filmnya simpel dan nggak alay sih. Tapi awalnya nonton asal-asalan, sambil makan, chatting, dll, dll. Tapi begitu agak ke tengah, aku mulai tertarik dan justru ngulang percakapan di beberapa scene. Film yang judulnya Mika ini ternyata nggak se-freak yang aku pikir. Dan yang lebih hell adalah film ini berhasil bikin aku hujan yang cukup serius. Dan sampe filmnya udah kelar hujannya semakin menjadi. Aku bener-bener sotoy ngelanjutin feelingnya si tokoh cewek yang ada di film itu. Nggak ngebayangin gimana rasanya ditinggal sama orang yang udah berjasa dan baik gitu. Just like ‘REALLY?’ What the hell I was doin? Hahaha. Serius aku nangis. Dan aku akuin kalo film ini adalah film Indonesia yang dibikin dengan jalan cerita yang simpel tapi nggak norak (Kayak biasanya). Malah aku ngerasa film ini berguna karena nambah pengetahuan buat yang nonton. Dan harusnya spesies film semacem ini diperbanyak. Bukan melulu film cinta-cintaan yang rebutan pacar, geng-geng an tapi nol pengetahuan. Film Mika ini nyeritain kehidupan penderita Aids dan Scoliosis yang saling cinta tapi literally sad ending. Unsur cinta-cintaannya nggak over. Tapi tetep so touchin! Worth it lah pokoknya. Recommended enough. Hehehe. Yang pasti film ini sederhana tapi “bercerita”. Makasih deh buat yang nyempilin film ini di antara folder-folder film tak terjamah lainnya. Aku juga jadi belajar jangan terlalu suudzon sama sesuatu sebagai hasil dari generalisasi J Ohya, aku juga suka jargon tentang cinta yang ada di film Mika. Kebetulan sore sebelum aku nonton, aku sempet iseng nulis soal LDR dan nyinggung “faith” dalam LDR itu sendiri. Malemnya, aku ditunjukkin sama film ini kalo emang “Love is faith”. Surprising cool, huh? J


Nih, posternya. Selamat meramban dan menonton :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar